Segelas
teh hangat manis itu sudah datang. Seorang gadis muda tampak membawa nampan
sambil mengelap meja berbungkus plastik yang semenjak tadi sedikit kotor karena
ceceran bumbu kacang. Pesanan sebelumnya kemungkinan besar melibatkan sepiring pecel
yang dengan lahapnya dimakan oleh orang yang sedang terburu-buru, atau memang
bermasalah dalam etika di meja makan.
Uap masih mengebul, seringkali
warung-warung kopi mengartikan pesanan “teh hangat” sebagai
“teh-panas-baru-selesai-direbus”. Tak apa, orang bilang memberi lebih banyak
adalah sebuah bentuk cinta, iya kan?. Memesan segelas teh hangat di sebuah
warung kopi pun tampak sebagai suatu anomali. Kopi dan teh tidak pernah
ditakdirkan bersatu, seumur hidup, dari sesapan pertama hingga tetes terakhir,
segelas teh dan secangkir kopi hanya bisa bersandingan, saling menyaksikan
siapa yang akan tandas duluan. Setidaknya itulah yang kuyakini hingga kini.