Segelas
teh hangat manis itu sudah datang. Seorang gadis muda tampak membawa nampan
sambil mengelap meja berbungkus plastik yang semenjak tadi sedikit kotor karena
ceceran bumbu kacang. Pesanan sebelumnya kemungkinan besar melibatkan sepiring pecel
yang dengan lahapnya dimakan oleh orang yang sedang terburu-buru, atau memang
bermasalah dalam etika di meja makan.
Uap masih mengebul, seringkali
warung-warung kopi mengartikan pesanan “teh hangat” sebagai
“teh-panas-baru-selesai-direbus”. Tak apa, orang bilang memberi lebih banyak
adalah sebuah bentuk cinta, iya kan?. Memesan segelas teh hangat di sebuah
warung kopi pun tampak sebagai suatu anomali. Kopi dan teh tidak pernah
ditakdirkan bersatu, seumur hidup, dari sesapan pertama hingga tetes terakhir,
segelas teh dan secangkir kopi hanya bisa bersandingan, saling menyaksikan
siapa yang akan tandas duluan. Setidaknya itulah yang kuyakini hingga kini.
Setengah gelas kremer encer manis
dingin yang dilabeli sebagai “es susu” itu baru saja lenyap dalam sekali teguk.
Bibir mungil itu menelannya tanpa sisa. Minuman dingin dan sepasang bibir
memberikan kombinasi “basah” menggoda. Apalagi ditambah sebuah ayunan lidah, Wah!.
Jari-jari lentiknya juga masih saja menggenggam dengan mesra, tak ingin lepas sebelum
tak ada lagi yang tersisa dalam gelas. Terik matahari hari itu berhasil
membuat kerongkongannya berontak dan kepalaku bergemeretak memikirkan hal
yang tidak-tidak. Sumpah!, lain kali aku ingin pesan kepada Tuhan, tolong
jangan ciptakan kepalaku dari bak truk sampah.
Akhir-akhir ini aku terlalu sering
memikirkan banyak hal. Seperti kumpulan mahasiswa-mahasiswa telat wisuda
lainnya, kami diberi kesempatan untuk sesekali mengintip kerasnya kehidupan
sembari tetap dikejar-kejar tugas akhir sialan yang terus merengek layaknya
anak kecil minta dibelikan es krim walaupun ingus masih meleber dan suara masih
serak karena batuk. Hmm, pernahkah kalian berpikir, ada apa dengan otak dengan
sebuah abstraksi yang kita sebut pikiran?. Otak tak pernah kemana-mana, tapi
pikiran selalu saja liar bergerak. Seringkali pergerakan tersebut terpusat pada
satu yang bagaimanapun kamu memaki, dia tetap disana, permanen terpatri.
“Kamu
adalah ruang imajinasi”. Tolong jangan salah mengerti. Tepi semesta tak ada
yang tahu, tapi imajinasi adalah sebuah perluasan tanpa tepi. Seringkali aku memikirkan
dirimu mengenakan sebuah gaun backless
yang mempesona dan aku berkutat dengan tuksedo yang mengkilap. Dalam sebuah ballroom penuh pasangan yang sedang
kasmaran, kita sedang berdansa, saling bermain dalam bunga-bunga merah menyala
yang siap membakar segalanya. Nikmati saja malam dalam bayangan itu, toh tak
ada yang rugi.
Jauh
melintasi segala kemungkinan, dia kembali bergerak. Lagi-lagi dirimu adalah
pusatnya. Apa jadinya bila kita ternyata takluk pada janji untuk saling
terikat?. Ketika saling berbagi tak lagi terbatas pada sepiring makanan,
sebatang coklat, seikat bunga, sebuah buku dan sekecup bibir?.
Pernahkah
terlintas di benakmu kita akan berbagi usia?. Dimana kita saling bergumul
setiap pagi, lalu dirimu berteriak panik karena lupa belanja untuk sarapan,
bukan lagi mengeluarkan celoteh-celoteh gemas seperti, “Sayang, sudah pagi, ayo
bangun, sebelum bapak kos tahu”.
Tanganmu
selalu saja usil, tanganku tak berdaya digenggamnya. Semua lamunan buyar, dan
imajinasi berlarian mencari tempat berlindung. Hebatnya, dirimu selalu hadir
tepat disaat ribuan ekspektasi siap membunuhku perlahan-lahan.
“Hei,
boleh tanya sesuatu?”, aduh! suara renyahnya terus terngiang di telinga.
“Boleh,
apa?”. Bibirku sedikit gemetar, demi menyembunyikannya, cepat-cepat kutenggak
sisa teh manis yang masih mengebul itu.
“Jadii,
kau memang menyukainya?”.
Aku
tersedak, lidahku kelu. Teh manis itu masih panas, tapi aku tetap membeku.
...
Gelas-gelas saling berpandangan,
mencari kawan mereka yang malang karena tandas duluan.
Source Gambar : http://www.burpple.com
Source Gambar : http://www.burpple.com
0 komentar:
Post a Comment