Monday, August 8, 2016

Teh Manis



Segelas teh hangat manis itu sudah datang. Seorang gadis muda tampak membawa nampan sambil mengelap meja berbungkus plastik yang semenjak tadi sedikit kotor karena ceceran bumbu kacang. Pesanan sebelumnya kemungkinan besar melibatkan sepiring pecel yang dengan lahapnya dimakan oleh orang yang sedang terburu-buru, atau memang bermasalah dalam etika di meja makan. 
            Uap masih mengebul, seringkali warung-warung kopi mengartikan pesanan “teh hangat” sebagai “teh-panas-baru-selesai-direbus”. Tak apa, orang bilang memberi lebih banyak adalah sebuah bentuk cinta, iya kan?. Memesan segelas teh hangat di sebuah warung kopi pun tampak sebagai suatu anomali. Kopi dan teh tidak pernah ditakdirkan bersatu, seumur hidup, dari sesapan pertama hingga tetes terakhir, segelas teh dan secangkir kopi hanya bisa bersandingan, saling menyaksikan siapa yang akan tandas duluan. Setidaknya itulah yang kuyakini hingga kini.
            Setengah gelas kremer encer manis dingin yang dilabeli sebagai “es susu” itu baru saja lenyap dalam sekali teguk. Bibir mungil itu menelannya tanpa sisa. Minuman dingin dan sepasang bibir memberikan kombinasi “basah” menggoda. Apalagi ditambah sebuah ayunan lidah, Wah!. Jari-jari lentiknya juga masih saja menggenggam dengan mesra, tak ingin lepas sebelum tak ada lagi yang tersisa dalam gelas. Terik matahari hari itu berhasil membuat kerongkongannya berontak dan kepalaku bergemeretak memikirkan hal yang tidak-tidak. Sumpah!, lain kali aku ingin pesan kepada Tuhan, tolong jangan ciptakan kepalaku dari bak truk sampah.
            Akhir-akhir ini aku terlalu sering memikirkan banyak hal. Seperti kumpulan mahasiswa-mahasiswa telat wisuda lainnya, kami diberi kesempatan untuk sesekali mengintip kerasnya kehidupan sembari tetap dikejar-kejar tugas akhir sialan yang terus merengek layaknya anak kecil minta dibelikan es krim walaupun ingus masih meleber dan suara masih serak karena batuk. Hmm, pernahkah kalian berpikir, ada apa dengan otak dengan sebuah abstraksi yang kita sebut pikiran?. Otak tak pernah kemana-mana, tapi pikiran selalu saja liar bergerak. Seringkali pergerakan tersebut terpusat pada satu yang bagaimanapun kamu memaki, dia tetap disana, permanen terpatri.
“Kamu adalah ruang imajinasi”. Tolong jangan salah mengerti. Tepi semesta tak ada yang tahu, tapi imajinasi adalah sebuah perluasan tanpa tepi. Seringkali aku memikirkan dirimu mengenakan sebuah gaun backless yang mempesona dan aku berkutat dengan tuksedo yang mengkilap. Dalam sebuah ballroom penuh pasangan yang sedang kasmaran, kita sedang berdansa, saling bermain dalam bunga-bunga merah menyala yang siap membakar segalanya. Nikmati saja malam dalam bayangan itu, toh tak ada yang rugi.
Jauh melintasi segala kemungkinan, dia kembali bergerak. Lagi-lagi dirimu adalah pusatnya. Apa jadinya bila kita ternyata takluk pada janji untuk saling terikat?. Ketika saling berbagi tak lagi terbatas pada sepiring makanan, sebatang coklat, seikat bunga, sebuah buku dan sekecup bibir?.
Pernahkah terlintas di benakmu kita akan berbagi usia?. Dimana kita saling bergumul setiap pagi, lalu dirimu berteriak panik karena lupa belanja untuk sarapan, bukan lagi mengeluarkan celoteh-celoteh gemas seperti, “Sayang, sudah pagi, ayo bangun, sebelum bapak kos tahu”.
Tanganmu selalu saja usil, tanganku tak berdaya digenggamnya. Semua lamunan buyar, dan imajinasi berlarian mencari tempat berlindung. Hebatnya, dirimu selalu hadir tepat disaat ribuan ekspektasi siap membunuhku perlahan-lahan.
“Hei, boleh tanya sesuatu?”, aduh! suara renyahnya terus terngiang di telinga.
“Boleh, apa?”. Bibirku sedikit gemetar, demi menyembunyikannya, cepat-cepat kutenggak sisa teh manis yang masih mengebul itu.
“Jadii, kau memang menyukainya?”.
Aku tersedak, lidahku kelu. Teh manis itu masih panas, tapi aku tetap membeku.

            ...
            Gelas-gelas saling berpandangan, mencari kawan mereka yang malang karena tandas duluan. 


Source Gambar : http://www.burpple.com

Related Posts:

0 komentar:

Post a Comment