Begitu
saja kalimat itu muncul di sampul buku ekonomi makroku, ah, siapa yang
menulisnya? Entahlah, bisa juga aku, bisa juga orang lain. Apa maksudnya? Entahlah,
namanya juga tidak selesai.
Berlembar-lembar
cerpen teronggok tak berguna di meja ini, disebelahku, dibawah sorotan lampu
belajar yang mulai terbatuk-batuk, setiap hari jumlahnya terus saja bertambah,
tidak ada niatan dariku untuk sekedar mengirimkannya ke majalah, koran atau
sebagainya, kenapa? Jawabannya sama : Tidak selesai.
Kenapa
tidak selesai? Pertanyaan itu menghampiri benakku setiap malam, setiap kali aku
mulai menggoreskan pena diatas kertas kosong, atau sekedar memulai kalimat
pertama pada layar laptop, aku tak tahu, aku tak tahu ending yang pas untuk
seluruh cerita-cerita itu, semua keliatan sama, menggebu-gebu pada awalnya,
layu perlahan pada akhirnya yang kemudian berakhir dalam tumpukan file : Tidak
selesai.
Namanya
Venia, teman SMA satu kelas dulu, dia manis, tipikal cewek kebanyakan dengan
sedikit taburan tomboy dan tingkah yang nggak cewek-cewek banget (Iya, dia
adalah makhluk yang bakal ngejer seekor kecoa yang mengganggunya daripada hanya
berteriak-teriak histeris). Muncul hasratku untuk menulisnya. Setiap hari,
setiap pagi, setiap bel berdentang tanda pelajaran usai selalu dia, dia dan dia
yang kuperhatikan. Kalimat pertama tergores hanya untuk menjadi kalimat
terakhir tentangnya.
“hari ini dia manis”
Orang-orang
memanggilnya keceng, aku memanggilnya Karen, orangnya manis, rambutnya ikal,
kacamata besar diwajahnya menimbulkan kesan “smart” dan itu nilai plus baginya,
walaupun minusku mengahalangiku melihat dunia dalam kapasitas high-definition. Aku mengenalnya saat
dia meminta pertolonganku mendorongkan sepedanya sehabis ospek dulu, iya dengan
badan sebesar panda cina apa yang kau bisa harapkan?. Kembali, hasratku menulis
muncul.
“Dia baik, dia lucu, dia manis,
dia smart”.
Suatu
kali, aku berhenti. Berhenti menulis segala cerita tentang dunia, lelah, iya
itu saja alasanku. Aku melihat dunia bukan lagi sesuatu yang berwarna, yang
penuh misteri yang bisa dimainkan sesuai imajinasi dalam goresan pena, tidak,
tidak, tidak lagi. Aku menjadi menutup dan tertutup, kubalas senyum-senyum
mereka dengan topeng yang kutulis besar-besar di dahinya : “RAMAH” sementara
dibaliknya aku dengan tanpa ekspresi melihat dunia, melihat mereka dengan
cerita-cerita yang mereka rangkai sesuka hari dengan klimaks-klimaks yang
dramatis.
Hanya
coretan-coretan ular yang mewarnai lembaran-lembaran putih bukuku, tanpa tujuan
tanpa semangat dan tanpa cerita. Peranku sebagai aktor dunia serasa
dipensiunkan dini tanpa pesangon yang cukup, tidak, tidak, aku tidak mau
dikenal sebagai pengemis kehidupan dalam ceritaku sendiri.
Ceritaku
sendiri, ah lucunya, beraninya aku mengatakan bahwa ini cerita, cerita apa? Kosong
bukanlah cerita, hanyalah sebuah kehampaan yang menyakitkan. Hampa, aku
merasakannya setelah menjatuhkan penaku untuk terakhir kalinya, menyobek
lembaranku yang sudah terisi dengan alasan klasik : Tidak selesai.
Terakhir
kali aku mengambilnya, pena itu tidak lagi seperti dulu, dia tidak punya
semangat, sama seperti pemiliknya, dia tidak bisa lagi menulis dengan sempurna,
tidak lagi, akibatnya lembaran-lembaran putih itu menunjukan degradasinya,
ular-ular yang makin ruwet tanpa makna melenyapkan cerita yang seharusnya
tertulis disana.
Ah,
kau ini kenapa? Banyak hal menarik yang bisa kau tulis disana, banyak! Kenapa
hanya terpaku pada sesuatu yang justru melenyapkanmu? Kau berhak bercerita! Kau
punya pena dan kertas yang wajib kau isi dengan cerita-ceritamu!, Teriak
hatiku.
Aku
menunggu!, Bentakku kepada hatiku yang sedari tadi meracau tidak karuan.
Menunggu
apa!, Hatiku tak kalah keras membentakku.
Menunggu
cerita yang tepat untuk kutuliskan! Aku lelah hanya terus menulis, mengawali
hanya untuk menyakiti dan menjadikannya sampah yang justru merusakku, aku
mencoba menjelaskannya pada hatiku.
Omong
kosong!, Kau punya pena, kau punya kertas! Kau tak selayaknya menunggu!
Tuliskan ceritamu dan cerita itu akan menuntunmu! Bukan menunggu kesempurnaan,
tapi ceritamu yang kau anggap sampah akan perlahan-lahan sempurna walau harus
mengulang berkali-kali!, hati berusaha meyakinkanku.
Kau
tahu, hati? Kau tahu perasaan pencerita yang hanya bisa menceritakan awal,
dengan klimaks yang terbata-bata dan ending yang tak pernah kau temukan? Kau tau
perasaannya?, kau tak selayaknya mengutukku!, aku berusaha membela diri terhadap
hati yang mulai memberontak.
Tentu
aku tahu! Aku hatimu! Aku sumber dari segala perasaanmu! Dan aku lelah
melihatmu berusaha mencampakkanku! Aku dan kau satu! Kau senang, aku senang!
Kau menangis, aku menangis! Kau menderita, aku menderita! Aku Tahu! Dan Aku
muak melihatmu, Aku benci melihat orang yang mampu tapi menyerah, aku benci
melihatmu yang sekarang! Aku rindu kau yang dulu!.
Tapi,
hati...
Tidak
ada bantahan!, aku ingin kau berubah! Kau boleh terus saja menunggu! Tapi
kertasmu tak boleh kosong! Berceritalah! Hiduplah! Jadilah apa yang kau bisa!
Seorang penunggu yang bijaksana? Boleh! Menunggulah, menulislah, awali dengan
sebaris kalimat, gagal, ulangi lagi dengan sebaris kalimat, tambahi lagi
sebaris kalimat, kau tahu, Ending cerita bukan bagaimana kau menunggunya, tapi
bagaimana kau menuliskannya, kau berhak, dan aku berhak!.
“Hei,
kebetulan nih, sekelas lagi”, seseorang menepuk pundakku.
“Oh,
Iya, jodoh kali Ra, sekelas terus, hahaha”, aku berusaha menggodanya.
“Iya,
kali aja, hahahahaha!”, Dia membalas candaanku dengan tawanya yang khas.
Dia
mengenalkan diri dengan nama Rara, entah kebetulan atau bukan, beberapa jadwal
mata kuliahku bersamaan dengannya, tanpa sadar aku memperhatikannya, melihat
dunia dalam jutaan warna dalam high-definition paling jernih yang pernah
kulihat.
“Dia
baik, dia lucu,dia menyenangkan, dia mudah diperhatikan, dan dia memiliki
senyum yang menghidupkan “.
Pena-penaku
kembali beraksi, kertas-kertas kosong pun kembali terisi. Baris demi baris
kalimat tertuliskan, membentuk satu paragraf yang entah aku sendiri tidak
menyadarinya. Walaupun nantinya kalimat-kalimat itu terhenti, aku tak peduli,
karena aku hanya perlu mengubahnya menjadi BELUM SELESAI.
Jember, 21 Februari 2013, 21:21
0 komentar:
Post a Comment