Thursday, February 21, 2013

Selesai (?).

‘Aku makhluk yang tidak selesai.’
                Begitu saja kalimat itu muncul di sampul buku ekonomi makroku, ah, siapa yang menulisnya? Entahlah, bisa juga aku, bisa juga orang lain. Apa maksudnya? Entahlah, namanya juga tidak selesai.
                Berlembar-lembar cerpen teronggok tak berguna di meja ini, disebelahku, dibawah sorotan lampu belajar yang mulai terbatuk-batuk, setiap hari jumlahnya terus saja bertambah, tidak ada niatan dariku untuk sekedar mengirimkannya ke majalah, koran atau sebagainya, kenapa? Jawabannya sama : Tidak selesai.
                Kenapa tidak selesai? Pertanyaan itu menghampiri benakku setiap malam, setiap kali aku mulai menggoreskan pena diatas kertas kosong, atau sekedar memulai kalimat pertama pada layar laptop, aku tak tahu, aku tak tahu ending yang pas untuk seluruh cerita-cerita itu, semua keliatan sama, menggebu-gebu pada awalnya, layu perlahan pada akhirnya yang kemudian berakhir dalam tumpukan file : Tidak selesai.

                Namanya Venia, teman SMA satu kelas dulu, dia manis, tipikal cewek kebanyakan dengan sedikit taburan tomboy dan tingkah yang nggak cewek-cewek banget (Iya, dia adalah makhluk yang bakal ngejer seekor kecoa yang mengganggunya daripada hanya berteriak-teriak histeris). Muncul hasratku untuk menulisnya. Setiap hari, setiap pagi, setiap bel berdentang tanda pelajaran usai selalu dia, dia dan dia yang kuperhatikan. Kalimat pertama tergores hanya untuk menjadi kalimat terakhir tentangnya.

“hari ini dia manis”

                Orang-orang memanggilnya keceng, aku memanggilnya Karen, orangnya manis, rambutnya ikal, kacamata besar diwajahnya menimbulkan kesan “smart” dan itu nilai plus baginya, walaupun minusku mengahalangiku melihat dunia dalam kapasitas high-definition. Aku mengenalnya saat dia meminta pertolonganku mendorongkan sepedanya sehabis ospek dulu, iya dengan badan sebesar panda cina apa yang kau bisa harapkan?. Kembali, hasratku menulis muncul.

“Dia baik, dia lucu, dia manis, dia smart”.

                Suatu kali, aku berhenti. Berhenti menulis segala cerita tentang dunia, lelah, iya itu saja alasanku. Aku melihat dunia bukan lagi sesuatu yang berwarna, yang penuh misteri yang bisa dimainkan sesuai imajinasi dalam goresan pena, tidak, tidak, tidak lagi. Aku menjadi menutup dan tertutup, kubalas senyum-senyum mereka dengan topeng yang kutulis besar-besar di dahinya : “RAMAH” sementara dibaliknya aku dengan tanpa ekspresi melihat dunia, melihat mereka dengan cerita-cerita yang mereka rangkai sesuka hari dengan klimaks-klimaks yang dramatis.
                Hanya coretan-coretan ular yang mewarnai lembaran-lembaran putih bukuku, tanpa tujuan tanpa semangat dan tanpa cerita. Peranku sebagai aktor dunia serasa dipensiunkan dini tanpa pesangon yang cukup, tidak, tidak, aku tidak mau dikenal sebagai pengemis kehidupan dalam ceritaku sendiri.
                Ceritaku sendiri, ah lucunya, beraninya aku mengatakan bahwa ini cerita, cerita apa? Kosong bukanlah cerita, hanyalah sebuah kehampaan yang menyakitkan. Hampa, aku merasakannya setelah menjatuhkan penaku untuk terakhir kalinya, menyobek lembaranku yang sudah terisi dengan alasan klasik : Tidak selesai.
                Terakhir kali aku mengambilnya, pena itu tidak lagi seperti dulu, dia tidak punya semangat, sama seperti pemiliknya, dia tidak bisa lagi menulis dengan sempurna, tidak lagi, akibatnya lembaran-lembaran putih itu menunjukan degradasinya, ular-ular yang makin ruwet tanpa makna melenyapkan cerita yang seharusnya tertulis disana.
                Ah, kau ini kenapa? Banyak hal menarik yang bisa kau tulis disana, banyak! Kenapa hanya terpaku pada sesuatu yang justru melenyapkanmu? Kau berhak bercerita! Kau punya pena dan kertas yang wajib kau isi dengan cerita-ceritamu!, Teriak hatiku.
                Aku menunggu!, Bentakku kepada hatiku yang sedari tadi meracau tidak karuan.
                Menunggu apa!, Hatiku tak kalah keras membentakku.
             Menunggu cerita yang tepat untuk kutuliskan! Aku lelah hanya terus menulis, mengawali hanya untuk menyakiti dan menjadikannya sampah yang justru merusakku, aku mencoba menjelaskannya pada hatiku.
                Omong kosong!, Kau punya pena, kau punya kertas! Kau tak selayaknya menunggu! Tuliskan ceritamu dan cerita itu akan menuntunmu! Bukan menunggu kesempurnaan, tapi ceritamu yang kau anggap sampah akan perlahan-lahan sempurna walau harus mengulang berkali-kali!, hati berusaha meyakinkanku.
                Kau tahu, hati? Kau tahu perasaan pencerita yang hanya bisa menceritakan awal, dengan klimaks yang terbata-bata dan ending yang tak pernah kau temukan? Kau tau perasaannya?, kau tak selayaknya mengutukku!, aku berusaha membela diri terhadap hati yang mulai memberontak.
                Tentu aku tahu! Aku hatimu! Aku sumber dari segala perasaanmu! Dan aku lelah melihatmu berusaha mencampakkanku! Aku dan kau satu! Kau senang, aku senang! Kau menangis, aku menangis! Kau menderita, aku menderita! Aku Tahu! Dan Aku muak melihatmu, Aku benci melihat orang yang mampu tapi menyerah, aku benci melihatmu yang sekarang! Aku rindu kau yang dulu!.
                Tapi, hati...
                Tidak ada bantahan!, aku ingin kau berubah! Kau boleh terus saja menunggu! Tapi kertasmu tak boleh kosong! Berceritalah! Hiduplah! Jadilah apa yang kau bisa! Seorang penunggu yang bijaksana? Boleh! Menunggulah, menulislah, awali dengan sebaris kalimat, gagal, ulangi lagi dengan sebaris kalimat, tambahi lagi sebaris kalimat, kau tahu, Ending cerita bukan bagaimana kau menunggunya, tapi bagaimana kau menuliskannya, kau berhak, dan aku berhak!.

                                “Hei, kebetulan nih, sekelas lagi”, seseorang menepuk pundakku.
                “Oh, Iya, jodoh kali Ra, sekelas terus, hahaha”, aku berusaha menggodanya.      
                         “Iya, kali aja, hahahahaha!”, Dia membalas candaanku dengan tawanya yang khas.
                Dia mengenalkan diri dengan nama Rara, entah kebetulan atau bukan, beberapa jadwal mata kuliahku bersamaan dengannya, tanpa sadar aku memperhatikannya, melihat dunia dalam jutaan warna dalam high-definition paling jernih yang pernah kulihat.
                “Dia baik, dia lucu,dia menyenangkan, dia mudah diperhatikan, dan dia memiliki senyum yang menghidupkan “.
                Pena-penaku kembali beraksi, kertas-kertas kosong pun kembali terisi. Baris demi baris kalimat tertuliskan, membentuk satu paragraf yang entah aku sendiri tidak menyadarinya. Walaupun nantinya kalimat-kalimat itu terhenti, aku tak peduli, karena aku hanya perlu mengubahnya menjadi BELUM SELESAI.


Jember, 21 Februari 2013, 21:21 

              
               
               

0 komentar:

Post a Comment